Ta’lim Malam Kamis 21 Juni 2023: Fiqih Hari Raya Idul Adha
Tinggal menghitung hari, sebentar lagi Insya Allah, kita akan merayakan satu lagi hari besar. Setelah Idul Fitri yang lalu, maka kita siap menyambut Hari Raya Idul Adha 1444 Hijriyah.
Namun, sebelum hari tersebut benar-benar datang, ada baiknya memang mengetahui fiqih tentang Hari Raya Idul Adha. Pada ringkasan ta’lim ini, akan diungkapkan hal tersebut. Disampaikan oleh Ustadz Akbar Jabba, S.Pd.I, Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Wahdah Islamiyah Bombana. Lokasinya di Masjid Al-Muhajirin, BTN Pasir Putih, Kelurahan Kasipute, Kecamatan Rumbia, tepatnya Rabu setelah Maghrib (21/06/2023).
Dimulai dari Mandi
Yang namanya hari raya, hari besar, hari kemenangan bagi kaum muslimin, sungguh tidak elok jika disambut tanpa mandi terlebih dahulu. Apalagi bangun tidur, mungkin bau badan, keringat, dan bau-bau lain yang sulit untuk didefinisikan. Ditambah dengan akan bertemu kaum muslimin lainnya, memang cocok kiranya agar mandi sebelum berangkat dari rumah.
Ustadz Akbar menyampaikan bahwa mandi ketika akan sholat Idul Adha adalah mandi janabah. Mandi yang sama setelah berhubungan suami istri. Mandi ini juga dilakukan apabila keluar sperma tanpa disengaja lewat mimpi basah.
Jika mau berangkat ke tempat sholat, dengan pakaian baru, sandal baru, sarung baru, sajadah baru, maka itu diperbolehkan. Hal itu bukanlah sombong, karena definisi sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain. Memakai pakaian baru juga bisa menjadi tanda syukur kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Dilarang Makan dan Minum
Berbeda dengan sholat Idul Fitri, sebelumnya memang boleh makan dan minum, untuk sholat Idul Adha ini dilarang makan dan minum terlebih dahulu. Nanti makan dan minumnya setelah sholat. Tentu hal ini tidak terlalu memberatkan karena hanya menahan beberapa jam saja.
Kaitannya dengan ibadah kurban, bagi para pekurban disunnahkan untuk memakan sebagian dagingnya. Mungkin ada yang bertanya, kalau disedekahkan semua bagaimana? Menurut logika, hal itu akan mendatangkan pahala lebih banyak, karena kurban kita diberikan semua kepada orang lain.
Akan tetapi, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mencontohkan untuk memakan sebagian daging hewan kurban. Lebih tepatnya memang mencontoh beliau, daripada punya logika sendiri dengan sama sekali tidak memakan daging hewan kurban.
Takbir
Untuk sholat Idul Adha ini, juga berbeda dengan sholat Idul Fitri, utamanya dalam mengucapkan takbir. Kalau sholat Idul Fitri, takbir dari malam hari, lanjut pagi sampai sholat Idul Fitri. Sementara kalau sholat Idul Adha, lanjut terus sampai setelah sholat Ashar di tanggal 13 Dzulhijjah.
Sedangkan untuk sholat sebelum sholat Idul Adha, tidak ada yang namanya sholat tahiyatul lapangan. Kalau di lapangan, langsung duduk saja di tanah. Terlebih dahulu, bisalah menggelar koran atau tikar, baru di atasnya diletakkan sajadah. Bila sholat Idul Adha dilaksanakan di masjid, maka tetap ada yang namanya sholat tahiyatul masjid.
Ketika sholat Idul Adha akan dimulai, baik itu di lapangan maupun di dalam masjid, maka tidak ada iqamah sebelumnya. Kalau iqamah tidak ada, tentu saja adzan juga.
Saat Sholat
Ada sebagian kaum muslimin yang melakukan sholat Idul Fitri maupun Idul Adha, saat di antara takbir sebanyak tujuh kali, menurunkan tangan, lalu bertakbir kembali. Menurut Ustadz Akbar, takbir yang tujuh kali boleh mengangkat tangan, boleh juga tidak. Tidak ada hajat menurunkan tangan, kemudian bertakbir.
Kalau sholat sudah dilaksanakan, Alhamdulillah, bagaimana dengan khutbah? Ustadz Akbar mengatakan bahwa hukum khutbah setelah sholat hari raya hukumnya berbeda dengan khutbah Jum’at. Kalau khutbah Jum’at, memang ada larangan keras untuk berbicara. Jangankan berbicara, menegur orang berbicara dengan menempelkan telunjuk di mulut juga tidak boleh.
Sedangkan khutbah sholat hari raya boleh didengarkan, boleh juga tidak. Jadi, jika ada udzur, maka silakan meninggalkan tempat. Meskipun hukumnya tidak seperti khutbah Jum’at, dan boleh ditinggalkan, namun teladan terbaik kita, para sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam memilih untuk tetap duduk sampai khutbah benar-benar selesai.
Saling Mengucapkan Selamat
Kebiasaan yang bagus di antara kaum muslimin adalah saling mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri maupun Idul Adha. Doa yang diucapkan adalah taqabbalallahu minna wa minkum yang artinya adalah semoga Allah menerima amalku dan amalmu atau amal kalian.
Menurut Ustadz Akbar, doa tersebut adalah permohonan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala setelah kita melakukan ritual ibadah yang cukup banyak. Tentunya, penentu amal tersebut adalah Allah sendiri, bukan kita.
Jika tidak sempat bertemu, doa bisa diucapkan melalui media sosial maupun jaringan internet yang kita kenal sekarang. Bisa ditambahkan dengan gambar yang syar’i maupun video yang tanpa musik dan memakai backsound yang tidak dilarang di agama Islam ini.
Lalu, bagaimana dengan kalimat minal aidin wal faidzin? Kalimat tersebut juga boleh diucapkan untuk kaum muslimin yang lain. Hati-hati dengan mengatakan kalimat tersebut sebagai bid’ah dan tidak ada tuntunannya. Sebab, untuk bisa mengatakan bid’ah atau tidak, itu adalah domain ulama. Mereka ketika mengatakan sesuatu itu bid’ah pasti ada dasarnya. Sementara jika kita berani mengatakan bid’ah, siapa kita sebenarnya?
Perbedaan Waktu Sholat Idul Adha
Menyikapi perbedaan dalam penentuan hari raya Idul Adha, juga dijelaskan oleh Ustadz Akbar. Beliau mencontohkan jika memakai ilmu hisab, maka hilal setinggi 0,01 derajat sudah dihitung masuk. Sementara, jika dilihat dengan mata telanjang, hilal sebesar itu tidak akan terlihat. Padahal Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengajarkan umatnya untuk melihat hilal dengan mata telanjang.
Selain itu, hal yang perlu diperhatikan adalah perbedaan waktu antara Indonesia dengan Arab Saudi. Lebih dulu matahari muncul di Indonesia daripada di Arab Saudi. Oleh karena itu, bagi yang berhari raya lebih cepat, jangan sampai memang belum masuk 10 Dzulhijjah?
Pemerintah memang tidak melarang adanya perbedaan waktu hari raya, baik itu Idul Fitri maupun Idul Adha. Namun, semestinya memang hal tersebut tidak menjadi sebab rusaknya ukhuwah Islamiyah yang sedang dibangun ini.