Malu yang Seharusnya itu Begini

Malu yang Seharusnya itu Begini

Salah satu keistimewaan yang ada pada diri manusia adalah sifat malu. Hal ini beda dengan hewan. Contohnya, mereka bisa kawin di mana saja, asal ada kesempatan dan tempat. Namun, ada malu yang memang seharusnya ada pada manusia, malu yang sebenarnya, apakah itu?

Biasanya, tanda orang malu adalah dengan menutupi muka. Lihat para narapidana. Mereka yang telah berbuat kejahatan, menutupi wajah mereka dengan tangan, atau bahkan ditutup dengan masker. Tentu saja yang ada adalah masker kain, bukan masker bengkoang!

Mengapa mereka menutupi wajah seperti itu? Karena itu tadi, mereka merasa malu telah berbuat kejahatan. Padahal, ketika berbuat jahat, mereka tidak malu, tetapi setelah tertangkap dan ketahuan manusia, rasa malu jadi muncul.

Baca Juga: Daurah Ramadhan Muslimah: Bukti Semangat Muslimah Menyambut Bulan Suci Ramadhan 1446 Hijriyah

Tidak hanya untuk diri sendiri, mereka juga malu kepada keluarga. Mungkin malu kepada kedua orang tua mereka. Malu telah mencoreng nama keluarga. Malu telah menjadi beban keluarga. Dari yang tadinya sudah jadi beban, kini berbuat jahat, jadi beban lebih berat lagi. Beban kuadrat namanya.

Bandingkan dengan Malu yang Ini

Ketika kejahatan atau keburukan diketahui manusia, itu sudah membuat malu, maka pastinya lebih malu karena diketahui Allah. Bahkan, Allah mengetahui terlebih dahulu daripada manusia lainnya. Berbuat kejahatan satu kali, masih belum ketahuan manusia. Barulah bertahun-tahun berikutnya ketahuan.

Misalnya, selingkuh dengan istri atau suami orang, naudzubillah min dzalik. Awalnya dari sekadar komentar atau like di platform media sosial, berlanjut ke chat. Awalnya terasa kaku, namun seiring waktu, chat tersebut terus berjalan tanpa mengenal waktu. Saking asyiknya, hingga sudah terasa sangat lama.

Lalu, berlanjut ke pertemuan. Awalnya masih terasa kaku lagi, namun karena sudah makin terbiasa, maka pertemuan berlanjut ke tingkat yang lebih serius dan membahayakan. Bahkan, mereka sampai berbuat zina. Dan, tentu saja itu dosa besar. Naudzubillah min dzalik.

Saat sudah terbongkar, maka masing-masing pelakunya akan merasa malu. Apalagi jika masing-masing sudah punya pasangan masing-masing. Pengkhianatan, kebohongan, ketidakjujuran, marah, kecewa, semuanya bercampur menjadi satu. Apalagi jika rumah tangga tersebut sebelumnya tidak terasa apa-apa dan baik-baik saja. Namun, belum tentu bukan pada laut yang tenang tidak akan muncul badai?

Baca Juga: Antara Memindahkan Batu dan Membaca Al-Qur’an Bagi Orang Munafik

Jika memang malu seperti itu, apalagi sampai terbongkar aibnya di hadapan orang banyak, maka seharusnya yang lebih harus malu adalah malu kepada Allah. Syekh as-Sa’di rahimahullahu menasihati kita:

فَلْيَسْتَحِ الْمُجْرِمُ مِنْ رَبِّهِ أَنْ تَكُوْنَ نِعَمُ اللهِ عَلَيْهِ نَازِلَةً فِي جَمِيْعِ اللَّحَظَاتِ وَمَعَاصِيْهِ صَاعِدَةً إِلَى رَبِّهِ فِي كُلِّ الْأَوْقَاتِ.

“Hendaknya hamba pendosa malu kepada Allah. Sebab limpahan nikmat Allah turun kepadanya setiap saat, sedang maksiat demi maksiatnya naik kepada Allah di setiap waktu.” (Taisir al-Karim ar-Rahman, 441).

Dan, memang benar, malu itu harus lebih utama kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Setiap perbuatan kita pasti diketahui oleh Allah. Jangan sampai nantinya, dibongkar semua oleh Allah, bahkan di hadapan seluruh manusia. Ini yang lebih memalukan lagi. Bayangkan, di hadapan seluruh manusia, mulai sejak Nabi Adam alaihissalam sampai dengan manusia terakhir di muka bumi.

Namun, malu ini sering tertutupi oleh nafsu dan godaan setan yang sangat kuat. Tahu jika Allah Maha Melihat, tetapi tetap saja maksiat jalan. Bahkan, malah makin terang-terangan dengan jalan menceritakannya kepada orang lain. Mau sampai kapan berbuat begitu?

Baca Juga: Apakah Menunaikan Fidyah Harus Tiga Kali Makan?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright © 2025 wahdahbombana.or.id