Kajian kali ini mengambil tema yang mungkin tidak banyak diketahui oleh kaum muslimin. Tentang sejarah, terutama membahas perjuangan ulama Nusantara, bersama Ustaz Dr. Maulana La Eda, Lc, MA. Bagaimana selengkapnya? Mari simak berikut ini!
Ustaz Maulana yang menjadi Ketua Komisi Aqidah dan Pemikiran Dewan Syariah Wahdah Islamiyah (WI) ini memang termasuk salah satu rujukan ilmu yang sangat penting di bumi Sulawesi Tenggara.
Beliau memulai kajian yang berlangsung pada Sabtu (26/4/2025) pukul 09.30 WITA dengan sebuah pertanyaan, “Apa urgensi mempelajari tentang ulama Nusantara ini?”
Ustaz Maulana menjawab, “Alasan utama adalah mereka telah memiliki jasa yang besar untuk kita. Jasa mereka adalah mengenalkan Islam. Kalau mereka tidak berdakwah, mungkin kita tidak mengenal agama. Jasa besar ini dibalas dengan kajian mempelajari hidup mereka. Namun, tentu dengan sikap kritis.”
Selain itu, ungkap beliau, “Mempelajari sejarah sebagai batu loncatan sarana untuk berdakwah. Masih banyak daerah yang belum bisa beragama dengan benar atau terikat dengan adat-istiadat. Pembahasan ulama Nusantara ini dimulai dengan DPD Baubau dengan Kampung Literasi.”
Empat Madrasah Utama yang Berjasa Bagi Kaum Muslimin di Nusantara
Ustaz Maulana menyajikan materi, selain melalui pengucapan, juga dengan media Powerpoint. Meskipun, pada awalnya timbul masalah dengan gangguan pada slide presentasi yang ditayangkan melalui media Zoom Meeting ini.
Ada empat madrasah ulama Nusantara yang dibahas dalam kajian pagi ini sebagaimana dalam gambar di bawah. Sebelum itu, Ustaz Maulana mengungkapkan tentang karakter, terutama berkaitan dengan ulama Nusantara, “Karakter seorang muslim yang baik adalah menjadikan orang lain muslim seperti mereka. Sifat seorang dai adalah membalas keburukan dengan kebaikan.”
Ada dua madrasah yang disorot oleh Ustaz Maulana, “Madrasah Nawawi adalah wadah pengkaderan dai. Sedangkan Madrasah Ahmad Khatib paling berjasa karena murid-muridnya adalah ulama-ulama yang masuk di politik dan pendidikan.”
Tentang istilah “madrasah” itu sendiri, ujar beliau, “Madrasah ini bukan sekolah, melainkan organisasi atau gerakan pemikiran.”
Lalu, apa saja persamaan dari empat madrasah tersebut? Menurut Ustaz Maulana, “Pertama, usia panjang inisiatornya. Jika usia panjang, maka pemikirannya akan dipahami sampai generasi ketiga. Beda dengan Hasyim Asy’ari dan Ahmad Dahlan yang usianya singkat, akhirnya generasi ketiga tidak memahami visi dan misi mereka berdua.”
Persamaan kedua, lanjut beliau, “Pengkaderan dan bukan hanya transfer ilmu. Ahmad Khatib cuma 51 tahun, tetapi bisa melahirkan murid-murid yang hebat karena beliau fokus pada pengkaderan. Kajian Ahmad Khatib ini sudah seperti tarbiyah, tidak cuma beliau bicara sendiri. Kalau sudah selesai kajian, diserahkan ke muridnya untuk melanjutkan. Kalau ada muridnya yang akan pulang ke Indonesia, Ahmad Khatib memberikan pesan khusus untuk berdakwah dan berjihad.”
Bagaimana dengan persamaan selanjutnya? Ustaz Maulana kembali melanjutkan, “Persamaan ketiga adalah berdakwah dengan lisan dan tulisan. Empat ulama ini tidak hanya jago di atas mimbar, tetapi juga jago menulis. Makanya, ilmu mereka bisa kita kenal sampai sekarang.”
Persamaan yang keempat dan seterusnya, kata beliau, “Kuat amar maruf dan nahi mungkar, kedalaman ilmu, keinginan pada pendirian negeri Islam dan perundang-undangan Islam, dan kader pejuang, paham bahasa Arab dan ilmu fikih.”
Melihat dari gambar di atas, Ustaz Maulana menerangkan, “Madrasah Nawani adalah tradisionalis, sufisme, dan taklid. Beliau melahirkan yang namanya aswaja, seperti NU, Hisbul Wathan. Ahmad Dahlan yang merupakan pendiri Muhammadiyah memang terpengaruh dengan Syekh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, tetapi terpengaruh juga dengan Ahmad Khatib.”
Mengenai Ahmad Khatib, menurut Ustaz Maulana, “Ahmad Khatib membolehkan foto karena ibarat kita bercermin. Perjuangan Ahmad Khatib lebih variatif. Makanya, bisa tersebar sampai ke Jawa, Malaysia, dan Thailand. Beliau bisa melahirkan tokoh seperti Ahmad Dahlan, Mas Mansyur, Agus Salim, Abdul Hamil Majalengka, Haji Rasul, bapaknya HAMKA.”
Islam Bukan Disebarkan oleh Para Pedagang
Ustaz Maulana mengkritisi buku sejarah yang katanya Islam ini disebarkan ke Indonesia oleh para pedagang. Bantahan beliau, “Islam ini masuk lewat dakwah yang terorganisir, bukan lewat perdagangan, tetapi utusan-utusan kekhalifahan dari luar Indonesia. Sejarah Islam Indonesia memang banyak yang tidak tertulis.”
Ulama yang dicontohkan oleh Ustaz Maulana, yaitu: As’ad Thawil, “Dia diasingkan di Manado, merupakan pahlawan rakyat Banten yang melawan Belanda pada peristiwa Geger Cilegon pada tahun 1888.”
Selain itu, juga diucapkan oleh beliau, “Yusuf al-Makassari dikatakan ayahnya adalah Nabi Khidir, ini juga problem. Beliau diasingkan di Srilangka, lalu ke Afrika Selatan.”
Adapun untuk Abdulkarim Amirullah, “Dia diasingkan di Sukabumi. Diasingkan adalah kondisi yang menyiksa.”
Dari hukuman kepada pezina, Ustaz Maulana meneruskan, “Khilafah Abbasiyah pernah mengirim dai ke Jawa. Syekh Abdul Hamid di Indonesia Timur berhasil mengislamkan Ternate, Tidore, Flores, lebih dulu Islam enam puluh tahun dibandingkan Makassar.”
Bagaimana dengan profesi? Ustaz Maulana mengungkapkan, “Dalam Islam, yang benar adalah dakwah sambil berdagang. Pekerjaan utamanya berdakwah, sampingannya PNS. Profesi utama mereka adalah dakwah.”
Fokus dakwah para ulama Nusantara ini memang kepada para raja. Alasannya oleh Ustaz Maulana, “Jika raja sudah masuk Islam, maka rakyatnya akan turut.”
Tantangan dalam Dakwah
Ustaz Maulana memberikan gambaran kepada para peserta, yang dalam ini adalah para asatidzah Dewan Pengurus Wilayah (DPW) WI Sulawesi Tenggara (Sultra) dan dari Dewan Pengurus Daerah (DPD) WI se-Sultra, bahwa tantangan dakwah di zaman dahulu lebih berat. “Berdakwah sekarang mudah, bisa kemana-mana naik pesawat. Beda dengan zaman dulu. Kalau mau ceramah tarawih atau khutbah Jum’at, harus naik kapal dengan waktu 3-4 jam. Kapalnya kapal layar.”
Beliau melanjutkan pemaparannya, “Pada zaman itu, para khatib Jum’at disuruh untuk mendoakan kebaikan bagi pemerintah kolonial Belanda. Namun, Ahmad Khatib tidak mau dan melawan melalui sebuah buku.”
Rahasia Indonesia Bisa Merdeka
Secara khusus, Ustaz Maulana mencontohkan sesosok yang ada di wilayah Sulawesi Tenggara ini, yaitu: Laode Muhammad Idrus Kaimudin. “Beliau ini adalah seorang sultan, ulama, penulis, pakar politik. Manuskrip beliau sekitar 20 dan masih terjaga sampai sekarang. Tidak ditemukan sultan lain seperti itu. Namun, beliau belum bisa menghilangkan animisme, dinamisme, dan kebudayaan lain di Buton.”
Mengacu kepada urgensi organisasi dakwah seperti slide yang ditampilkan, kata Ustaz Maulana, “Indonesia merdeka karena ada perjuangan organisasi. Makanya, organisasi ini sudah menjadi jantungnya Indonesia. Orang berorganisasi sudah menjadi fitrah orang Indonesia. Bahkan, seorang syekh mengatakan sejak lahir orang Indonesia sudah memiliki organisasi.”
Contoh organisasi yang diungkapkan oleh Ustaz Maulana, yaitu: Serikat Islam. Dalam organisasi tersebut ada yang namanya baiat. Tentang ini, narasumber bergelar doktor tersebut menjelaskan, “Baiat ada dua, yaitu: baiat hidup dan mati kepada Nabi dan baiat yang seperti perjanjian. Serikat Islam ada baiatnya, yaitu: iuran organisasi dan saling membantu di antara anggota.”
Dalam perjuangan para ulama Nusantara, sekolah Islam adalah sangat urgen di masa itu. “Majelisnya Syekh Utsaimin mendekati zawiyahnya Kesultanan Buton. Beliau tidak punya pesantren, tetapi pengkaderannya sangat luar biasa.”
Tentang Dunia Tulis-Menulis
Selain dakwah melalui lisan, Ustaz Maulana mengatakan bahwa ulama Nusantara juga menulis. “Nawawi yang paling produktif dalam menulis. Semua ulama Nusantara memiliki buku dan pengkaderan khusus. Ini saya muat dalam buku 100 Ulama Nusantara.”
Sesi Diskusi atau Tanya Jawab
Pemaparan materi yang lengkap dan jelas tentang ulama Nusantara seperti dalam komentar di kolom chat Zoom Meeting kajian ini, maka moderator selanjutnya membuka sesi tanya jawab.
Ada yang bertanya tentang kisah kerajaan, istri para raja adalah dari kahyangan. Selain itu, juga bertanya tentang sebutan “la” untuk laki-laki dan “wa” untuk perempuan yang dikaitkan dengan lailahaillallah.
Menurut Ustaz Maulana, “Kisah kerajaan seperti istrinya dari kahyangan itu tidak ditulis, jadi tidak bisa dipastikan kebenarannya. Ada tiga jenis budaya, yaitu: budaya Islam, campuran antara budaya Islam dengan bukan Islam, dan budaya bukan Islam. Gelar ‘la’ dan ‘wa’ tidak ada hubungannya dengan lailahaillallah. Gelar ini sudah ada sebelum Islam di Buton. Maknanya wallahu ‘alam. Perlu bertanya kepada budayawan.”
Penanya lain kepada Ustaz Maulana tentang masa kejayaan kerajaan di Indonesia. Jawab Ustaz Maulana, “Tentang masa kejayaan itu masing-masing kerajaan. Misalnya, Kerajaan Buton sudah diterapkan hukum Islam, bahasa Arab jadi bahasa kerajaan. Sedangkan kerajaan Gowa masih dalam tekanan Belanda.”
Masih menjawab pertanyaan tersebut, beliau menambahkan, “Indonesia belum mencapai kejayaan seperti Dinasti Abbasiyah atau Kesultanan Konstantinopel. Ketika mau ada kejayaan, diserang oleh penjajah. Lalu, berdirinya negara ini oleh orang-orang yang dididik Belanda, jadi tidak bisa menerapkan syariat Islam.”
Nasihat Ustaz Maulana kepada para peserta, “Fokus kepada tugas masing-masing di daerah, ini solusi untuk mencapai kejayaan.”
Sesi diskusi ini ditutup oleh moderator, selanjutnya para peserta meninggalkan Zoom Meeting untuk bersiap menjalankan sholat Dzuhur secara berjamaah di masjid untuk Waktu Indonesia Tengah atau WITA.