Sering dalam kehidupan, kita mendengar atau membaca kata “rezeki”. Apakah sering juga mendengar tentang “keberkahan rezeki”? Bukan nama “rezeki” sering menjadi nama tempat usaha? Lalu, rezeki yang bagaimana bisa dikatakan berkah itu? Bukankah “berkah” juga nama usaha? Eh.
Dalam banyak persepsi masyarakat kita, rezeki biasanya berkaitan dengan uang. Ya, uang yang berupa rupiah itu. Orang yang kaya, mobilnya mewah, rumahnya mewah (bukan mepet sawah), saldo rekeningnya miliaran misalnya, maka dikatakan punya rezeki yang banyak.
Ketika melihat konten video di TikTok, ada orang flexing rumahnya yang megah, eh, ada komentar sambil mengetikkan sholawat. Dikira, sholawat itu untuk mencari dunia? Dikiranya dengan bersholawat begitu, akan menjadi seperti orang kaya itu? Kok jadi rendah sekali nilai sholawat yang diucapkannya, ya?
Begitulah keadaan dunia sekarang. Semuanya diukur dengan yang namanya materi. Orang yang berbahagia adalah orang yang banyak uangnya. Kalau sedikit atau tidak ada uangnya, dikatakan orang yang sial. Orang yang miskin sering menjadi objek bully. Mereka dijadikan objek konten demi mendapatkan cuan.
Orang miskin pun sering sekali dieksplorasi dalam kampanye politik. Diberikan sedikit bingkisan, makanan, dan uang tunai demi memilih sosok tertentu atau partai tertentu. Itulah yang namanya money politic. Dan, itu menjadi wajar sekarang, terlebih masyarakat sendiri yang memintanya kepada calon yang mau maju dalam sebuah kontestasi pemilihan.
Tidak Cuma Terbatas Hal Itu
Makna rezeki memang jauh lebih daripada sekadar materi atau sekadar sekeping rupiah. Dijauhkan dari marabahaya, dijauhkan dari gangguan jiwa, bahkan dijauhkan dari keinginan untuk mengakhiri hidup atau bunuh diri, itu sudah rezeki yang luar biasa besar.
Banyak pula artis film, penyanyi, bintang terkenal, sudah bergelimang harta, uangnya tidak terhitung tujuh turunan, tetapi memilih mengakhiri hidup dengan bunuh diri. Entah itu dengan menusukkan benda tajam ke perutnya, mengiris nadi di pergelangan tangan, meminum racun, terjun dari tempat tinggi, atau metode-metode lainnya.
Padahal, coba dipikirkan, hidup mereka sudah menjadi impian banyak orang. Hidup mereka sudah menjadi standar kemakmuran, bahkan di atasnya lagi. Mereka bebas membelanjakan uangnya. Mereka bisa bebas membeli barang apa saja, bahkan benda-benda bermerek terkenal dan mahal. Namun, kok bisa sampai bunuh diri? Bukankah mereka pada dasarnya para pecinta dunia? Lha kok meninggalkan dunia dengan cara yang seperti itu?
Kalau kita membatasi rezeki cuma dalam bentuk materi, maka itu sama saja tidak mensyukuri nikmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Rezeki seperti nikmat iman, Islam, bisa melaksanakan sholat, ada rasa tenang, bahagia, terus berprasangka baik kepada Allah, itu jauh lebih baik daripada sekadar rezeki berupa materi. Rezeki berupa materi maupun nonmateri tentu saja akan bertambah jika disyukuri sebagaimana firman Allah:
لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Ingatlah tatkala Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim: 7)
Mencari Keberkahan Rezeki
Sebagai manusia, jika dihadapkan dua pilihan, mau rezeki yang sedikit dan berkah atau banyak, tetapi tidak berkah? Makanya, yang dipilih biasanya yang banyak dan berkah!
Manusiawi dan wajar seperti itu. Namun, sekadar mendapatkan rezeki saja memang tidak cukup. Kita butuh mendapatkan keberkahan rezeki. Jika keberkahan rezeki itu kita dapatkan, wah, Masya Allah. Rasanya akan sangat luar biasa!
Bagaimana cara mengenali keberkahan rezeki itu? Mari kita simak hadits berikut:
Dari Urwah bin Zubair dan Sa’id bin Al-Musayyib radhiyallahu’anhuma, bahwa Hakim bin Hizam radhiyallahu’anhu bercerita,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَعْطَانِي ثُمَّ سَأَلْتُهُ فَأَعْطَانِي
ثُمَّ قَالَ لِي يَا حَكِيمُ: إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرٌ حُلْوٌ فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ وَكَانَ كَالَّذِي يَأْكُلُ وَلَا يَشْبَعُ وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى
“Aku meminta sesuatu kepada Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam lalu beliau memberikannya. Kemudian aku meminta lagi dan beliaupun kembali memberikannya. Lalu beliau berkata kepadaku, ‘Ya Hakim, harta itu hijau (menarik dipandang) lagi manis (dirasakan), maka siapa yang mencarinya untuk kedermawanan dirinya, maka harta itu akan memberkahinya. Namun, barangsiapa yang mencarinya untuk keserakahan (ambisius, tamak), maka harta itu tidak akan memberkahinya, seperti orang yang makan namun tidak kenyang. Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.’
Lalu Hakim menjawab,
يَا رَسُولَ اللَّهِ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَا أَرْزَأُ أَحَدًا بَعْدَكَ شَيْئًا حَتَّى أُفَارِقَ الدُّنْيَا
‘Ya Rasulullah, demi Dzat yang telah mengutusmu dengan benar, aku tidak akan mengurangi hak seorangpun (dengan meminta) setelah engkau hingga aku meninggalkan dunia ini.’” (HR. Bukhari dan Muslim)
Bagaimana rasanya makan terus, tetapi tidak pernah kenyang? Itulah yang tersurat pada hadits di atas. Seseorang yang tidak pernah puas dan tidak pernah cukup. Sudah punya uang miliaran misalnya, masih kurang juga. Masih sikat sana-sini. Injak di bawah, jilat di atas. Padahal, hartanya sudah sangat banyak luar biasa, tetapi masih butuh lagi dan lagi.
Itulah makna dari rezeki yang tidak berkah. Itulah orang yang tidak mendapatkan keberkahan rezeki. Jika kita berhasil mendapatkan keberkahan rezeki, maka hati akan selalu merasa cukup. Merasa puas dan selalu bersyukur.
Bersyukur kepada Allah, membuat adanya harta, jadi makin dekat dengan Allah. Harta tersebut digunakan untuk kepentingan dakwah, untuk peningkatan fasilitas dakwah, misalnya seperti di bawah ini:
Keberkahan rezeki jelas akan membuat pemiliknya akan semakin dekat dengan Allah, bukan malah sebaliknya. Hartanya yang banyak malah terus kurang. Sungguh miris, ya? Mirip dengan para pelaku koruptor bukan, ya?