Mungkin Anda pernah menonton tayangan kuliner yang dibawakan oleh Bondan Winarno. Kalau pernah, tiap tayangan, beliau tidak pernah mencela makanan. Kalau makanannya enak, selalu dibilang, “Mak Nyus”.
Seorang nenek pernah menyantap satu porsi mie kuah yang dibeli di warung pinggir jalan. Oleh karena tidak suka, nenek tersebut mengatakan, “Rasanya seperti kencing kuda!”
Tentu saja, yang mendengar celaan tersebut kaget. Lalu, dalam hati bertanya-tanya, “Memangnya Nenek pernah minum kencing kuda?”
Sudah Menjadi Kebiasaan
Mencela makanan mungkin sudah cukup sering kita lakukan. Ketika disajikan makanan, lalu kita tidak suka, mungkin ada di antara kita yang mencela makanan tersebut. Namun, mungkin tidak di depan orangnya langsung, penjual, atau pemilik restoran, tetapi ketika sudah di luar atau saat sudah di rumah.
Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
مَا عَابَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا قَطُّ إِنْ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ
“Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah mencela makanan sekali pun. Apabila beliau berselera (suka), beliau memakannya. Apabila beliau tidak suka, beliau pun meninggalkannya (tidak memakannya).” (HR. Bukhari no. 5409 dan Muslim no. 2064).
Bayangkan, seumur hidup beliau, tidak pernah mencela makanan, walaupun hanya sekali. Sederhana saja, jika suka, dimakan, jika tidak suka, ditinggalkan.
Membuat makanan itu memang tidak mudah. Kadang, ada orang yang sudah punya bahan persis seperti yang dimiliki oleh chef terkenal. Mengolahnya pun sudah diikuti betul-betul dalam tutorial memasak di YouTube misalnya. Akan tetapi, tetap rasanya akan berbeda. Hasil akhirnya mungkin tidak seenak chef terkenal tersebut.
Para ulama bilang, mencela orang, keluarganya, atau bahkan anjingnya itu termasuk ghibah yang dilarang. Dalam syair Manzhumah Maharim Al-Lisan karya Muhammad Maulud rahimahullah, ada kata-kata begini:
يحرم في حضوره وغيبه
في نفسه أو أهله أو كلبه
“Dilarang mencela orang lain, baik saat mereka ada atau nggak, termasuk mencela dirinya, keluarganya, atau anjingnya.”
Nah, kalau mencela anjing saja bisa dianggap ghibah, bagaimana dengan mencela makanan yang sebenarnya itu adalah hasil karya atau penghasilan dari sang pemasak? Bisa-bisa itu malah bikin pelanggan jadi kapok, kan?
Apalagi jika dijadikan konten, misalnya food vlogger. Mereka khusus membuat konten tentang dunia kuliner. Namun, ketika menemukan makanan yang tidak sesuai selera mereka, langsung dikatakan “tidak enak”, “tidak direkomendasikan”, atau mungkin “jangan makan di sini, kalau tidak ingin menyesal”. Sungguh, itu suatu kedzaliman. Padahal, masalah selera makanan itu adalah selera masing-masing orang.
Saya pernah memberikan satu kaleng gudeg kepada teman saya yang orang Sulawesi. Gudeg adalah makanan khas Jogja dan rasanya memang manis. Saat dia sudah merasakannya, dia mengatakan “tidak enak”. Baru sekali makan, langsung dibuang. Begitu pula dengan keluarganya yang merasakan, langsung tidak suka.
Nah, begitulah dengan selera makanan. Sinonggi bagi sebagian orang memang enak dan nyummy, tetapi bagi sebagian orang, ketika melihatnya, langsung mengatakan, “Itu kayak makan lem!”
Pada intinya, jika kita tidak suka dengan suatu makanan, disimpan rasa tidak sukanya dalam hati saja. Jangan dikatakan agar tidak menyinggung orang lain atau malah menjadi ghibah. Toh, yang mencela juga belum tentu bisa membuatnya bukan?
Sumber: