Siapa sih di dunia ini yang tidak kenal dengan AI? Kalau AI yang berarti Ayah Ibu, pastilah kita kenal. Namun, AI yang sering diungkapkan itu berarti Artificial Intelligence. Lalu, apa hubungannya dengan dunia dakwah?
Bicara tentang AI yang berarti dua kata dalam bahasa Inggris seperti di awal tulisan ini, memang sudah sangat banyak “membantu” kita. Mengapa saya pakai tanda petik pada kata “membantu”? Rupanya, membantu yang bagaimana dulu?
Contoh AI
Ambil contoh AI yang mungkin sering kita pakai, yaitu: Chat GPT. Aplikasi AI ini mampu menggantikan fungsi dan peran Google dalam mencari informasi. Kita tinggal mengetikkan yang kita mau cari, maka seketika, tanpa harus menunggu sebulan, Chat GPT, mampu memberikan jawabannya.
Meskipun, yah, tidak selalu jawabannya mutlak benar, sih, tetapi masih sangat bisa diandalkan dalam mendapatkan informasi. Tidak hanya dalam bahasa Indonesia, Chat GPT mampu memahami dalam bahasa Inggris. Mampu memahami dalam berbagai bahasa di dunia ini. Hanya mungkin bahasa semut yang dia tidak tahu, beda dengan tokoh orang tua viral yang katanya tahu bahasa semut itu.
Dari sekadar mencari informasi, Chat GPT mampu menjelma menjadi teman curhat bagi kalangan gen Z dan gen-gen lainnya. Misalnya, saat ada orang yang mendapatkan masalah, misalnya anaknya nakal, maka tinggal mengetikkan masalah di Chat GPT, saat itu juga jawabannya muncul.
Kalau sudah begitu, sangat dikhawatirkan jadi lupa berdoa kepada Allah. Apalagi jika ingin mendapatkan jawaban yang instan dan solusi praktis, maka Chat GPT akan dijadikan pelarian dari meminta kepada Allah.
Dalam Dunia Dakwah
AI, baik itu Chat GPT maupun AI yang telah tertanam dalam aplikasi sehari-hari kita, Whatsapp, dapat digunakan untuk kepentingan yang lebih luas lagi. Contohnya dalam dunia pekerjaan, bisnis, olahraga, menganalisis sesuatu, dan lain sebagainya.
Namun, bagaimana dengan di dunia dakwah? Apakah butuh AI juga? Tentu saja, dong! Bahkan AI yang satu ini memegang peranan yang sangat-sangat penting.
Dunia dakwah adalah sebuah dunia yang tidak bisa dimasuki oleh semua orang. Tidak bisa dimasuki tersebut bukan karena tidak mampu, biasanya karena tidak mau. Padahal orang yang berkecimpung dalam dunia dakwah, balasannya surga, lho! Ketika di dunia bisa mendapatkan pahala amal jariyah, amal yang terus mengalir, meskipun yang punya amal sudah meninggal dunia.
Namun, begitulah, sesuatu yang bertentangan dengan hawa nafsu, memang tidak semua orang mampu dan mau. Jangankan untuk urusan dakwah, untuk urusan ibadah saja, tidak semua orang sanggup.
Kita bisa melihat yang sholat berjamaah di masjid hari ini. Ketika bulan Ramadan yang lalu, Masya Allah, masjid-masjid cukup full dengan jamaah. Saya melihat di masjid besar di tempat saya, bisa sampai enam shaf.
Akan tetapi, ketika memasuki Syawal, bahkan malam 2 Syawal saja, sudah jauh berkurang, kembali lagi dengan penghuninya yang lama. Mana itu yang rutin sholat tarawih dan witir kemarin ketika Ramadan? Ternyata, sudah tidak tampak batang hidungnya.
Itu dari segi ibadah, apalagi dari segi dakwah. Harus hadir majelis taklim, mengajarkan Al-Qur’an, bahkan untuk khutbah Jum’at saja, belum tentu semuanya bisa. Meskipun dikatakan orang sebagai aktivis dakwah, tetapi tampil di mimbar, tidak semuanya sanggup. Merasa belum ada ilmunya. Padahal, sudah sering ikut taklim, masih belum ada ilmunya juga?
AI yang Bagaimana Ini?
Chat GPT bisa membantu dalam dunia dakwah, bisa juga tidak. Tidak harus semuanya memakai aplikasi AI. Dakwah bisa dilakukan tanpa AI, karena masih banyak sarana lain.
Teknologi, dalam hal ini media, memang membantu. Namun, ketika media tersebut belum ada atau belum sempurna, dakwah masih tetap bisa dilakukan.
Mengajak orang untuk sholat berjamaah di masjid, itu sudah berdakwah. Mengingatkan teman untuk tidak merokok, itu juga berdakwah. Menyebarkan info taklim melalui grup-grup Whatsapp yang dimiliki atau story, itu termasuk dakwah pula.
Meskipun demikian, AI yang satu ini, sangatlah berguna dalam dunia dakwah. Dikatakan sangat berguna karena menjadi motor penggerak dari dakwah itu sendiri. Dakwah tidak akan berarti apa-apa jika AI yang satu ini tidak pernah ada.
Mulai dari perencanaan dakwah, eksekusi, sampai dengan evaluasi, AI ini terus memegang peranan. Terus menjalankan fungsinya masing-masing. Saling berkoordinasi dan bersinergi, bahkan berkolaborasi dengan unsur-unsur lainnya agar dakwah bisa tercapai sesuai tujuannya.
AI yang dimaksud adalah Akhwat Ikhwah. Mengapa AI yang ini harus ada dalam dunia dakwah? Ya, tentu saja, dakwah ini dilakukan oleh dari manusia, oleh manusia, dan untuk manusia. Kalau AI yang berarti Akhwat Ikhwah itu bukanlah manusia, maka tentu ini sangatlah hil yang mustahal! Dunia kita jelas dunia manusia.
Ustaz Muhammad Ikhwan Kapai pernah mengatakan, “Antara akhwat dan ikhwah ini memang sama-sama, tetapi terpisah karena syariat.” Jadi, sebenarnya memang ibarat satu tubuh juga, hanya berdasarkan aturan syariat, tidak bisa bercampur-baur seperti organisasi awam atau umum. Harus ada hijabnya, harus ada pemisah tempatnya.
Pentingnya AI dalam dunia dakwah ini hendaknya memang dijaga. Jangan sampai ada yang futur, lemah semangat, hingga akhirnya ada yang keluar dari gerbong dakwah. Memang, jika ada yang keluar dari dunia dakwah, Allah pasti akan menggantinya. Namun, alangkah sayangnya, jika sampai ada yang keluar. Bagaimana dengan akhiratnya itu?
AI yang artinya Akhwat Ikhwah itu sekali lagi menjadi mesin utama dalam dunia dakwah. Akan lebih bagus lagi, jika Akhwat Ikhwah itu berada dalam suatu hubungan yang halal. Menjadi pasangan suami istri yang “tenggelam” dalam dunia dakwah yang sangat menyibukkan demi meraih cinta Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Maka, pasangan suami istri tersebut, semoga juga nantinya tenggelam di surga dalam ridho Allah Ta’ala, seperti yang mereka idam-idamkan. Lalu, pertanyaannya sekarang, mengapa akhwat yang didahulukan daripada ikhwah? Simpel saja, akhwat didahulukan karena memang disingkat jadi AI. Kalau ikhwah yang didahulukan, nanti jadinya IA. Tidak cocok dengan singkatan sesuai judul tulisan di atas! Ya ‘kan? Kan ya?
Wallahu ‘alam bisshawab.