Pengumuman Lomba Menulis Khusus Santri Ponpes Al-Wahdah Bombana dengan Tema “Ramadan, Bulan yang Kurindukan”

Pengumuman Lomba Menulis Khusus Santri Ponpes Al-Wahdah Bombana dengan Tema “Ramadan, Bulan yang Kurindukan”

Menjalani bulan suci Ramadan selama 30 hari full memang cukup membutuhkan perjuangan. Tidak hanya puasa, tetapi juga usaha dalam rangka mengikuti lomba menulis khusus santri Pondok Pesantren Al-Wahdah Bombana.

Lomba menulis tersebut memang mempunyai syarat. Pertama, masih termasuk sebagai santri di pondok pesantren Al-Wahdah Bombana. Ini mencakup santri ikhwan maupun akhwat, termasuk pula SMP maupun SMA, dari segala jenjang kelas. Jadi, bagi yang sudah lulus, tentu saja tidak bisa mengikuti lomba ini, apalagi yang belum mendaftar sebagai santri pula, karena masih TK misalnya.

Adapun diadakannya lomba ini memang sengaja untuk memancing tingkat literasi dari para santri tersebut. Dan, ternyata, minatnya terhitung sangat sedikit kasihan. Cuma 7 orang saja yang mengirimkan karyanya, dari sekian banyaknya santri.

Padahal, dari segi syarat, tidak terlalu berat, tidak seberat angkat semen sekarung sendiri, lho! Sudah sangat dipermudah, bentuk tulisannya pun bisa bermacam-macam. Asalkan sesuai tema “Ramadan, Bulan yang Kurindukan”, maka akan diterima.

Mengikuti lomba ini juga membutuhkan tingkat kepercayaan diri yang cukup tinggi. Pasalnya, bukan pasal sentrar, eh, kalau itu pasar sentral, pasalnya tulisan tersebut akan dipajang alias diposting di website ini. Linknya akan disebarkan ke grup-grup yang terafiliasi dengan Wahdah Islamiyah Bombana.

Penonton, eh kok penonton, maksudnya pembaca pun bisa memberikan reaksinya melalui emoticon yang sudah disediakan di setiap tulisan, baik sebelum tulisan maupun sesudahnya. Pembaca pun boleh memberikan komentar. Jadi, tulisan akan diserahkan kepada pembaca, boleh kirim komentar baik, yang buruk pun bisa.

Namun, Alhamdulillah, tidak ada komentar yang buruk. Apa mungkin tidak semuanya membaca, ya? Hem, yang jelas, yang sudah mengirimkan karyanya, diucapkan jazakumullah khairan katsira, terima kasih yang sebesar-besarnya.

Ada 7 orang peserta yang terbagi menjadi 5 orang santri akhwat dan 5 orang santri ikhwan. Nah, salah hitung ‘kan? Yang benar adalah 2 orang santri ikhwan. Ada yang mengirimkan tulisan berupa artikel, puisi, hingga ceramah. Bentuk tulisannya sama sekali tidak diedit, jadi murni tanpa oplosan dari tulisan santri itu sendiri. Ini ‘kan tulisan, ya, bukan bahas bensin oplosan.

Dakwah Melalui Tulisan

Tulisan itu memang termasuk unik dan memperlihatkan tingkat literasi dari si pembuatnya. Ibaratnya teko, yang keluar adalah yang sudah diisi. Tulisan bisa menjadi media dakwah yang sangat efektif, lho!

Kalau sekarang, orang masih banyak terpukau dengan konten video, tetapi untuk menjangkau ke semua tempat, belum tentu bisa. Sebabnya, jika berkaitan dengan sinyal internet, tulisan memang lebih mudah dibuka, dibandingkan video. Namun, keduanya memang saling mengisi, bahkan jika dipakai keduanya, akan sangat powerfull. Ibaratnya mesin, akan bisa berlari kencang.

Metode dakwah melalui tulisan cocok untuk laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, jika dicermati lebih jauh, lebih cocoknya untuk muslimah. Sebabnya, seorang muslimah yang berdakwah melalui tulisan tidak perlu mencantumkan fotonya, videonya, maupun suaranya. Jauh lebih menenteramkan dibandingkan harus membuat video yang bisa jadi tampak wajahnya meskipun ditutupi cadar, ditambah musik yang sedang spiral, eh, viral. Naudzubillah. Dakwah kok pakai musik?

Orang yang suka menulis termasuk orang yang spesial di kalangan masyarakat kita. Jangankan menulis, yang membaca buku saja terlihat orang pintar, kok. Kalau buku itu dikatakan sebagai jendela dunia, maka menulis boleh dikatakan pintunya. Membaca berbagai hal, berbagai buku, berbagai jenis tulisan, akan makin memperkaya pikiran hingga menghasilkan tulisan yang berkualitas.

Dalam menulis, menjadi tantangan tersendiri, karena membutuhkan pikiran yang lebih dalam dibandingkan bicara. Kalau cuma omon-omon, eh ini teringat siapa, ya? Gampang saja. Tinggal omong saja, selesai. Sedangkan jika menulis, sering harus dipikirkan, ini tulisannya benar apa tidak? Cocok atau tidak? Dari segi gaya bahasanya, sudah pas atau belum?

Beda halnya dengan yang suka komentar sembarangan di ranah media sosial. Maka, itu akan menampakkan kedangkalan pikiran mereka. Dan, jika komentarnya menyinggung orang lain, bisa menimbulkan konsekuensi hukum. Makanya, menulis itu memang tidak boleh sembarangan, harus dipikirkan matang-matang. Biasanya, dekat kompor berpikirnya agar lebih cepat matang! Masakan maksudnya.

Jadi, adanya lomba menulis ini memang sebagai awal, tidak harus Awaludin, sih. Jika minat mengikuti lomba ini cukup besar, maka tingkat literasinya juga dalam kondisi yang sama. Sebaliknya, tumpah dong. Maksudnya, sebaliknya, jika yang ikut cuma sedikit, maka mungkin lain kali akan diadakan lagi. Semoga ada sponsor yang mampu lebih besar memberikan hadiahnya. Aamiin.

Terus, yang menang siapa? Tunggu dulu, lah yauw! Boleh kita bahas satu persatu tulisan-tulisan yang sudah masuk. Sabar, ganti subjudul dulu! Mungkin ada yang mau ngopi dulu? Kopi buat saya mana, nih?

Bahas Tulisan Santri

1. Selalu Menanti dan Merindukan Bulan Ramadhan, Oleh: Ulul Azmi (Kelas XI MIPA 1)

Tulisan pertamax, waduh salah tulis, kok malah jenis bensin, tulisan pertama adalah berupa artikel yang ditulis oleh Ulul Azmi. Kelas XI (itu dibaca 11, bukan xi) MIPA 1.

Dari judul tulisannya memang sangat cocok dengan tema lomba. Menyebutkan tentang “merindukan bulan ramadhan”. Nah, dalam penulisan judul, yang lebih tepat adalah Ramadan, bukan Ramadhan, sesuai kaidah KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Namun, mungkin masih belum tahu, kalau tempe sudah belum? Kalau yang di pamflet, tertulis “Ramadhan”, itu bukan saya yang tulis.

Penulis langsung memancing pertanyaan dari pembaca dengan kalimat: rindu dengan suasana buka puasa bersama keluarga dan teman-teman atau berbagai takjil? Memang bedanya apa, ya, antara buka puasa dan takjil? Tulisannya mungkin, ya?

Dibandingkan dengan rindu buka puasa atau makanan takjil, Ulul Azmi mencontohkan generasi terbaik umat ini. Siapa lagi kalau bukan sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam? Mereka “mengapit” bulan suci Ramadan dengan doa. Jika sudah terlewat bulan Ramadan, mereka berdoa agar Allah menerima amalan mereka. Jika menjelang bulan Ramadan, bahkan enam bulan sebelumnya, mereka berdoa agar bisa bertemu dengan bulan yang mulia tersebut.

Menurut Ulul, para generasi terbaik itu selalu menanti dan merindukan bulan Ramadan, karena termasuk bulan yang mulia, istimewa, dan penuh berkah. Bulan Ramadan mencakup seluruh rukun Islam. Dia pun bertanya sendiri “masa sih?” Nah, jawab nggak, ya?

Dalil yang disampaikan adalah hadits riwayat Imam Bukhari rahimahullah tentang Islam dibangun di atas lima perkara, lengkap pula dengan teks Arabnya. Penulis juga menyebutkan tentang umrah di bulan Ramadan. Pahalanya seperti berhaji bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Meskipun keutamaan luar biasa seperti itu, penulis menyebutkan bahwa umrah tersebut tidak dapat menggantikan haji yang sesungguhnya. Yah, memang benar seperti itu.

Penulis mengulangi kembali di paragraf selanjutnya tentang keistimewaan bulan Ramadan. Disebutkan bahwa bulan Ramadan adalah penuh berkah. Hal itu mungkin sebagai bentuk penegasan bahwa bulan suci Ramadan ini tidak main-main, terutama bagi generasi terbaik umat ini.

Dalam penutup tulisannya, penulis memberikan nasihat kepada para pembaca untuk tidak hanya semangat beribadah di bulan suci Ramadan, tetapi harus kapanpun. Kapan saja, selama umur masih ada. Dan, nasihat ini menjadi penting karena betapa banyak orang yang keluar dari bulan suci Ramadan, eh, kembali lagi sifatnya, sama seperti sebelum bulan Ramadan. Naudzubillah min dzalik.

Ini adalah hasil dari reaksi para pembaca beserta jumlah viewnya, termasuk komentar yang ada:

pengumuman-lomba-menulis-8

pengumuman-lomba-menulis-3 pengumuman-lomba-menulis-2

Eko, eh, oke, kita lanjut ke tulisan selanjutnya! Lanjut, Bang….!

2. Untuk Apa Sih Bulan Ramadhan Diciptakan?dan Bagaimana menyambutnya? Oleh: Feni Faldia (Kelas: XII MIPA 1)

Tulisan yang kedua ini berasal dari seorang santri akhwat lagi, bernama Feni Faldia. Santri kelas XII MIPA 1. Kalau dilihat dan diterawang di depan gawang, judulnya memang terasa panjang, tetapi kesannya jadi kurang rapi. Sebab, ada dua tanda tanya di situ. Lebih baik judulnya digabungkan menjadi satu kalimat, misalnya: “Untuk Apa sih Bulan Ramadan Diciptakan dan Bagaimana Menyambutnya?” Begitu mungkin lebih asyik.

Dilihat lagi dari tulisannya, juga masih kurang rapi. Antara kata ulang, misalnya: “dipikir pikir”, ditulis tanpa tanda sambung, seharusnya ‘kan “dipikir-pikir”. Penggunaan huruf besar juga masih ada yang kurang tepat. Misalnya: “Kalau dipikir pikir iya juga yah, Untuk apa sih bulan Ramadhan diciptakan?” Mestinya, kata “Untuk” di situ huruf kecil saja, karena hanya ditempatkan setelah koma dan bukan pula di awal kalimat.

Atau, dalam kalimat lain, yang seharusnya huruf besar, malah tidak dipakai. Contoh pada kalimat: “Atau hanya untuk ibadah?,karena di dalamnya semua amalan kebaikan dilipatgandakan?” Kata “karena” di situ mestinya pakai huruf besar K.

Dalam penulisannya, penempatan spasi juga masih belum banyak yang tepat. Seharusnya, setelah tanda baca, itu ada satu spasi. Ini akan membuat tulisan jadi lebih rapi. Selain itu, memudahkan pembaca untuk sedikit bernapas. Tulisan yang terlalu rapat bisa membuat pembaca lelah, apalagi membacanya setelah lari sepuluh kilometer. Jelas, sangat melelahkan. Ya ‘kan?

Penulis membandingkan diri kita ibarat, tanpa itimur, kendaraan bermotor. Jika rusak, mau dibawa ke mana? Apotek? Rumah sakit? Klinik bersalin? Semuanya salah, tentu saja, kendaraan bermotor, baik itu sepeda motor roda dua maupun mobil roda empat, ya, dibawa ke bengkel, lah yauw!

Perumpamaan kendaraan bermotor rusak itu rupanya cocok juga dengan diri kita, kata Feni, penulis ini. Apalagi di bulan-bulan sebelumnya, mungkin kita banyak lalai dan berimbas pada dosa. Satu bulan Ramadan sebagai sarana untuk memperbaiki diri.

Feni juga mengungkapkan tentang harapan untuk terus membersamai Ramadan di masa yang akan datang. Lalu, bagaimana cara menyambut Ramadan kata Feni? Menurutnya, Ramadan harus disambut dengan doa, bukan dengan menyalakan kembang api. Feni juga menulis tentang para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang sudah melatih diri dengan ibadah sebelum datangnya bulan suci Ramadan.

Katanya lagi, kita butuh effort dan konsisten karena kita akan melatih fisik dan mental menyambut bulan Ramadan. Penulis ini menyebutkan tentang hadits:

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِى رَجَبٍ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا رَمَضَانَ

Artinya: “Ya Allah, berkahilah kami di dalam bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikanlah kami pada bulan Ramadhan.” (HR Ahmad).*

Ini sudah ada keterangan dari saya, yang saya ambil sumbernya dari website lain, berupa: Hadits tersebut dikeluarkan oleh Ahmad dalam musnadnya, Ibnu Suniy dalam ’Amalul Yaum wal Lailah. Namun perlu diketahui bahwa hadits ini adalah hadits yang lemah (hadits dho’if) karena di dalamnya ada perowi yang bernama Zaidah bin Abi Ar Ruqod. Zaidah adalah munkarul hadits (banyak keliru dalam meriwayatkan hadits) sehingga hadits ini termasuk hadits dho’if. Hadits ini dikatakan dho’if (lemah) oleh Ibnu Rajab dalam Lathoif Ma’arif (218), Syaikh Al Albani dalam tahqiq Misykatul Mashobih (1369), dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam takhrij Musnad Imam Ahmad).

Jadi, ke depannya perlu hati-hati dalam mencantumkan hadits, ya! Baik, lanjut ke tulisan ketiga. Sudah capek? Belum, lah, ya, ini baru sekitar 1551 kata sampai di sini. Coba, ada berapa huruf tuh?

Eh, hampir terlupa, untuk reaksi dan jumlah view ini dia:

pengumuman-lomba-menulis-9

Ada satu komentar, dan ini perlu dicantumkan di sini:

pengumuman-lomba-menulis-10

3. Ramadhan Dikala Itu, Oleh: Farda Fauziah (Kelas: IX B)

Kalau di atas adalah artikel, maka untuk tulisan yang ketiga ini adalah berbentuk puisi. Tentu bukan puisi lalu lintas. Karangan Farda Fauziah, santri kelas IX B.

Puisinya berjudul “Ramadan Dikala Itu”. Dari judul, masih kurang tepat penulisannya. Seharusnya “Ramadan di Kala Itu”. Jadi untuk “di” pada kata “di kala” itu bukan imbuhan, melainkan kata depan. Tidak boleh disambung.

Penulisan beberapa kata di dalam puisi ini juga masih banyak yang salah. Misalnya, “Gemerlap cahaya dibulan yang suci”. Seharusnya “di bulan”, karena “di” masih berupa kata depan. Lalu ada pula kalimat: “Ataukah jiwa ini lebih memilih kematian disisimu”. Kata “disisimu” seharusnya “di sisi-Mu”. Apalagi ini ditambah panggilan untuk Allah, “Mu” harus dipakai, bukan “mu”.

Ada lagi yang seharusnya digabung, malah dipisah. Misalnya, “Semoga,dengan aksara yang ku ukir” dan “Bisa menjadi saksi doa yang ku panjatkan”. Pada kata “ku ukir” dan “ku panjatkan” seharusnya digabung menjadi “kuukir” dan “kupanjatkan”. Kalau ini berupa awalan, bukan kata depan.

Masih ada juga kata yang seharusnya huruf kecil, tetapi malah ditulis huruf besar. Sedangkan untuk penulisan setelah tanda baca, maka harus ada satu spasi. Diberi jarak satu spasi agar terlihat lebih rapi begitu.

Secara umum, puisi ini berarti harapan untuk bertemu dengan bulan suci Ramadan, seperti yang pernah dialami sebelumnya. Sebuah panggilan jiwa melalui doa kepada Allah agar bisa berpuasa lagi, dan memang begitulah harapan seorang muslim.

Reaksi dan view untuk puisi ini diperlihatkan sebagai berikut:

pengumuman-lomba-menulis-11

Sedangkan untuk komentar, sama sekali tidak ada. Begitu, ya! Markijut, mari kita lanjut ke tulisan berikutnya! Tarik, Mang!

4. Sebuah Kebahagiaan di Bulan Ramadhan, Oleh: Afifah Adzra Aris (Kelas: VIII B)

Pada tulisan yang keempat ini adalah sebuah puisi juga. Lagi dan lagi, bukan puisi lalu lintas. Kan belum ada razia. Razia itu bukannya sesuatu yang tidak boleh diketahui orang lain, ya?

Puisi ini ditulis oleh Afifah Adzra Aris, santri akhwat kelas VIII B. Berarti masih SMP. Oke, bagaimana puisinya?

Dari penulisan judul, sudah termasuk tepat. Kata “di” dan di belakangnya ada “bulan” sudah tepat dipisah, bukan disambung. Namun, pada bait pertama, kata setelah koma seharusnya dipisah. Contohnya: “Bahwa bulan yang kurindukan,sudah didepan mata” dan baris “Oh Ramadhan,hadirmu membawa kebahagiaan”. Kata “didepan” semestinya “di depan”.

Pada bait ketiga, baris kedua, bunyinya seperti ini, “Ku cari sebuah keberkahan di suatu malam”. Kata “ku cari” yang benar adalah “kucari”, sedangkan “di suatu malam” sudah benar, kata “di” harus dipisah karena merupakan kata depan.

Isi dari puisi adalah pada intinya adalah mencari keberkahan di bulan suci Ramadan, terutama malam Lailatul Qadr. Penulis mengungkapkan kebahagiaannya jika bisa bertemu kembali dengan bulan suci Ramadan.

Oke, mau meluncur ke tulisan kelima. Sebelumnya, seperti tulisan-tulisan lainnya, harus diperlihatkan reaksi dan view pada puisi ini:

pengumuman-lomba-menulis-12

Komentar untuk puisi ini tidak ada sama sekali. Baiklah, dari tulisan keempat, pastinya dong ke tulisan yang kelima. Seperti apa? Ini dia!

5. Bulan Istimewa, Oleh: Zahra Arasy (Kelas XII MIPA)

Masih puisi pada tulisan kelima ini, oleh Zahra Arasy, santri akhwat kelas XII MIPA. Wah, sebentar lagi mau lulus, nih!

Puisi berjudul “Bulan Istimewa”. Puisi ini terdiri dari lima bait. Pada bait pertama, ada sedikit yang mau dikoreksi. Baris keempat dengan bunyi seperti ini, “Bahkan, alampun sudah menunjukan tanda tanda akan kehadiranmu”. Kata ulang “tanda tanda” seharusnya memakai tanda hubung menjadi “tanda-tanda”. Mungkin terlupa untuk menuliskan tanda itu.

Puisi ini memperlihatkan kehadiran bulan suci Ramadan memang mendatangkan kebahagiaan. Hal yang menarik adalah kebahagiaan itu tidak hanya bagi kaum muslimin, tetapi juga nonmuslim. Dan, kenyataannya memang seperti itu. Beberapa tahun yang lalu, kaum nonmuslim juga melakukan War Takjil, artinya “perang” berburu makanan takjil atau makanan berbuka puasa. Soalnya, memang enak-enak, sih. Mereka pun suka. “Perang” seperti itu ramai juga di media, utamanya TikTok.

Bait keempat mengulang kembali bait kedua, bahwa bulan suci Ramadan memang penuh dengan keberkahan. Pengulangan ini bisa dua efek. Satu, sebagai penegasan bahwa bulan suci Ramadan itu memang benar-benar penuh dengan keberkahan. Kedua, bisa membuat pembaca jadi bosan. Mereka bisa berkomentar, “Lho, kok diulang lagi?” Terserah, sih, dari penilaian pembaca. Sebuah karya puisi itu memang bisa ditafsirkan berbeda-berbeda oleh setiap orang.

Bagaimana untuk reaksinya? Bagaimana pula untuk jumlah viewnya? Mari kita cek di bawah ini?

pengumuman-lomba-menulis-7Tidak ada komentar untuk puisi ini. Oleh karena itu, lanjut saja ke tulisan keenam! Apakah puisi lagi? Kita coba cek!

6. Ramadhan yang Dirindukan, Oleh: Aprian Mauli (Kelas XII MIPA)

Tulisan yang keenam ini bukan puisi, bukan juga tentara, melainkan sebuah tulisan ceramah. Ditulis oleh santri ikhwan atau santri putra bernama Aprian Mauli, kelas XII MIPA.

Sebenarnya, dari pemilihan judul, terlihat kurang kreatif, karena judulnya mirip sekali dengan tema. Padahal, saya membuat tema itu hanya untuk panduan dan arahan saja, judul jangan hampir sama persis dengan tema.

Pembuka teks ceramah ini sudah benar, memakai salam yang lengkap. Namun, ada yang perlu dikoreksi dalam teks ceramah ini, yaitu: pada penulisan nama Allah yang lengkap. Seharusnya jangan ditulis Allah SWT, melainkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kalau Allah SWT, itu sama saja dengan isi buku Kunci Ibadah :).

Begitu pula untuk Nabi Muhammad, jangan ditulis di belakangnya SAW, tulis saja lengkap Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Lebih bagus pakai huruf miring karena ini adalah kata-kata dari bahasa Arab.

Pada awal tulisan, penulis mengungkapkan bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan Al-Qur’an akan menjadi mulia. Mulai dari Malaikat Jibril, kota Mekkah, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dan bulan suci Ramadan, semuanya terkait dengan turunnya Al-Qur’an.

Bulan suci Ramadan adalah bulannya ibadah. Namun, ibadah jangan cuma di bulan tersebut saja, tetapi juga di bulan-bulan lain. Melakukan amalan secara konsisten, meskipun sedikit. Yang sedikit dan konsisten saja bisa mulia, apalagi kalau banyak dan konsisten, ya? Itu lebih mantap, dong!

Penulis mengajak memanfaatkan waktu sebaik-baiknya di bulan suci Ramadan. Penulis bertanya kepada pembaca, “Jamaah sekalian, kalau dengan bulan suci ramadhan ini belum mampu untuk mengubah kita, belum mampu untuk kita memperbaiki diri-diri kita, maka harus dengan cara apalagi agar kita bisa kembali kepada Allah SWT.” Namun, pada akhir kalimat tersebut yang seharusnya menggunakan tanda tanya, tetapi tidak dipakai, justru titik yang digunakan.

Pada intinya, penulis mengajak pembaca untuk memaksimalkan waktu, apalagi tidak ada jaminan bisa bertemu bulan suci Ramadan di tahun depan. Ini memang mesti menjadi renungan bagi kita, kaum muslimin.

Bagaimana dengan reaksi dan viewnya? Tulisan Aprian ini masuk di hari terakhir lomba, yaitu: tanggal 29 Maret 2025. Untuk reaksi dan view memang tidak sebanyak yang sudah masuk terlebih dahulu. Namun, mari kita lihat!

pengumuman-lomba-menulis-13

7. Ramadhan Yang Kurindukan, Oleh: Arha Muzakir (Kelas XI)

Tulisan terakhir dari santri ikhwan pula, Arha Muzakir, kelas XI. Tulisannya berupa puisi dengan judul yang hampir sama persis dengan Aprian. Melihat dari judulnya, seharusnya kata “Yang” di situ tidak ditulis huruf besar karena merupakan kata sambung. Semestinya, “yang Kurindukan”. Oke, lanjut!

Puisinya terdiri dari tiga bait saja. Pada bait pertama, baris ketiga terdapat tulisan seperti ini, “Saling menyapa dikala bertemu”. Dalam kaidah bahasa Indonesia, antara “di” dan “kala” mestinya dipisah. Sebabnya, tahu ‘kan? Yap, karena “di” di situ adalah kata depan, bukan awalan.

Ketika membaca puisi ini, cukup nyaman untuk dinikmati karena rima yang terjaga di setiap baitnya. Semuanya punya pola a-a-a-a. Dan, rima di akhir baris itu yang membuat puisi jadi lebih menarik.

Isi dari puisinya pun pada awalnya tidak langsung menjurus kepada rindu akan hadirnya bulan suci Ramadan. Penulis memberikan gambaran tentang hiruk pikuk keramaian pada waktu sore. Keramaian apa itu? Pembaca pun bisa dibuat penasaran.

Bait kedua mengungkapkan tentang keindahan cinta. Bukan sembarang cinta, melainkan penulis menjawabnya dengan, “Seindah anugrah sang pencipta”. Pada baris ini, kata “anugrah” seharusnya “anugerah”. Kata “sang pencipta” seharusnya “Sang Pencipta” karena menandakan nama Tuhan atau dalam hal ini tentu saja Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Dan, pada bait ketiga, puisi ini mengungkapnya intinya secara lebih dalam. Penulis menorehkan, “Jika diminta merangkai kata” dan “Untuk menyiratkan sebuah rasa”. Nah, rasa apa itu? Oh, rupanya tentang makna bahagia. Penulis memberikan jawabannya secara telak, “Biarkan Ramadhan yang bercerita”. 

Ending yang sangat bagus, plot twist yang keren, karena dari baris itu, pembaca diajak berpikir, Ramadan yang bercerita. Cerita apa saja di bulan Ramadan? Pembaca pasti tahu. Penulis puisi ini tidak perlu mengungkapkan semua. Tidak perlu menulis satu persatu atau secara utuh. Cukup menjadi renungan bagi pembacanya.

Seperti biasa, laporan reaksi dan view puisi ini:

pengumuman-lomba-menulis-14

Jadi, Siapa Juaranya?

Menentukan pemenang dalam suatu perlombaan memang bisa cukup bikin pusing, apalagi jika yang ikut memiliki karya yang bagus-bagus. Juri bisa bingung dalam memilih. Jika salah memilih pemenang, maka dari segi tanggung jawab intelektual dan moral bisa dipertanyakan oleh peserta lomba dan lainnya.

Lomba menulis khusus santri Pondok Pesantren Al-Wahdah Bombana ini mengambil tema “Ramadan, Bulan yang Kurindukan”. Tema yang masih bisa diturunkan menjadi judul yang sesuai atau tidak keluar dari tema itu sendiri.

Adapun untuk judul, memang ini menjadi salah satu daya tarik pembaca. Judul yang menarik, tentu saja akan membuat pembaca jadi ingin tahu. Istilahnya kepo. Tidak semua orang bisa kepo, karena kepo itu cuma ada dua, yaitu: kepolisian dan keponakan!

Pemenang pertama, saya mengambil tulisan puisi dengan judul “Bulan Istimewa” yang ditulis oleh: Zahra Arasy (Kelas XII MIPA). Pemilihan judul “Bulan Istimewa” ini menurut saya sangat memancing rasa ingin tahu. Jika puisi ini dilepas dan tidak disangkutpautkan dengan lomba, maka membuat orang jadi penasaran. Bulan istimewa? Bulan apakah itu? Apakah bulan Ramadan? Bulan Dzulhijjah? Bulan Muharram? Bulan Syawal? Apa? Lalu, pertanyaan selanjutnya, apa yang membuatnya jadi bulan istimewa?

Judul yang pendek, cuma dua kata, menjadi makin mudah untuk diingat. Tidak mengambil judul mirip dengan tema atau sama persis dengan tema, cuma diambil kata “bulan” saja. Selain dari segi judul, isinya pun unik. Ditulis bahwa bulan suci Ramadan ini tidak hanya menjadi kebahagiaan bagi kaum muslimin, tetapi juga kaum nonmuslim.

Tentu hal tersebut bisa menjadi syiar Islam dan mungkin saja menjadi sebab hidayah bagi mereka untuk masuk Islam. Ramadan dengan segala keberkahannya bisa membuat kaum nonmuslim kepincut atau tertarik untuk lebih mengenal Islam. Apalagi melihat dari aktivitas ibadah yang meningkat di bulan suci Ramadan, bisa memancing perhatian mereka.

Penulis juga menyebutkan tentang bulan suci Ramadan yang paling ditunggu, tetapi sedihnya, begitu cepat berlalu. Dan, itu yang kita rasakan bukan? Baru rasanya di awal Ramadan, tahu-tahu sudah di pertengahan. Tahu-tahu sudah di sepuluh hari terakhir. Sekarang, tahu-tahu sudah berlalu kembali. Ini adalah hal yang dirasakan oleh kaum muslimin. Ramadan yang nikmatnya luar biasa seperti itu, cepat sekali meninggalkan kita. Sedih, ya?

Jadi, untuk puisi dengan judul “Bulan Istimewa” ini saya tetapkan menjadi juara pertama! Selamat, ya, untuk Zahra Arasy, santri akhwat kelas XII MIPA.

Juara kedua, sentar, sentar, saya baca lagi tulisan-tulisan santri. Dari judul, sangat mirip dengan tema. Kalau yang begini, bisa jadi tampak kurang kreatif. Namun, isinya luar biasa. Pemenang kedua saya tetapkan adalah puisi lagi dengan judul “Ramadhan Yang Kurindukan”, buah karya Arha Muzakir (Kelas XI).

Rimanya tertata dengan rapi pada puisi itu. Dibacanya enak. Seperti yang saya ulas di atas, memancing keingintahuan pembaca di awal puisi. Mengungkapkan tentang keramaian di suatu sore, saling menyapa, dan senyum bahagia tanpa ragu. Bukankah itu sangat sesuai dengan keadaan di bulan suci Ramadan? Namun, penulis tidak langsung menyebutkan bahwa itu di bulan Ramadan.

Ending pada puisi ini, “Biarkan Ramadhan yang bercerita” menggambarkan majas personifikasi. Bulan Ramadan yang sebenarnya termasuk benda mati, tetapi justru dimanusiakan atau dibuat seolah-olah manusia melalui kata “yang bercerita”. Jadi, bukan kita yang bercerita di situ, melainkan seolah-olah bulan Ramadan sendiri yang mengungkapkan ceritanya.

Ada apa saja, sih, cerita di bulan suci Ramadan? Tentunya banyak cerita. Banyak juga kisah di situ, ada bahagia, sedih, atau gabungan keduanya. Masing-masing orang bisa berbeda ceritanya.

Selamat untuk Arha Muzakir, santri kelas XI, menjadi juara kedua. Sekarang, tinggal juara ketiga. Saya ambil dari puisi lagi. Ada dua puisi yang menjadi kandidat untuk juara ketiga ini. Namun, satu puisi yang berhak menyandang juara ketiga adalah “Sebuah Kebahagiaan di Bulan Ramadhan”, yang menjadi karya dari Afifah Adzra Aris (Kelas: VIII B).

Sederhananya dari puisi ini, adalah mencari keberkahan di bulan suci Ramadan. Namun, keberkahan seperti apa? Keberkahan yang bagaimana? Jawabannya ada di bait ketiga. Penulis menyebutkan, “Ku cari sebuah keberkahan di suatu malam”, dilanjutkan dengan, “Malam yang lebih baik dari seribu bulan”, dan penjelasannya adalah “Yaitu malam lailatul qadar”.

Pembaca yang belum tahu, mungkin lho, ya, kalau ada, malam yang lebih baik dari seribu bulan itu, memang ada? Oh, ada, dong! Yaitu, malam Lailatul Qadr. Itulah malam yang menjadi sumber keberkahan di bulan suci Ramadan. Cuma satu malam, tetapi nilainya Masya Allah, sangat luar biasa. Lebih baik daripada seribu bulan. Umur manusia belum tentu mencapai 1.000 bulan, tetapi Allah memberikan malam itu setiap tahun, setiap bulan suci Ramadan, pada salah satu malam ganjil di sepuluh hari terakhir. Apa tidak berupa keberkahan di atas keberkahan itu?

Akhirnya, juara pertama, kedua, dan ketiga sudah saya tetapkan. Masih ada hadiah hiburan lagi bagi dua orang peserta. Ini sebagai bentuk penghargaan karena sudah memiliki view dan reaksi yang paling banyak. Ini sebagai bentuk penghargaan sudah mengenalkan website resmi DPD Wahdah Islamiyah Bombana ini.

Dua hadiah hiburan ini berupa uang tunai sebesar Rp100.000,00, masing-masing untuk Ulul Azmi (Kelas XI MIPA 1) sebagai juara Harapan 1 dan Feni Faldia (Kelas: XII MIPA 1) sebagai juara Harapan 2.

Ringkasannya, para pemenang Lomba Menulis Santri Pondok Pesantren Al-Wahdah Bombana dengan tema “Ramadan, Bulan yang Kurindukan” adalah:

Juara 1: Zahra Arasy (Kelas XII MIPA), berhak mendapatkan hadiah uang tunai senilai Rp500.000,00.

Juara 2: Arha Muzakir (Kelas XI), berhak mendapatkan hadiah uang tunai senilai Rp300.000,00. 

Juara 3: Afifah Adzra Aris (Kelas: VIII B), berhak mendapatkan hadiah uang tunai senilai Rp200.000,00. 

Juara Harapan 1: Ulul Azmi (Kelas XI MIPA 1), berhak mendapatkan hadiah uang tunai senilai Rp100.000,00. 

Juara Harapan 2: Feni Faldia (Kelas: XII MIPA 1), berhak mendapatkan hadiah uang tunai senilai Rp100.000,00. 

Sekali lagi, selamat untuk para pemenang. Semoga hadiahnya bisa dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Teknis penyerahan hadiahnya nanti ketika para santri sudah masuk dan kembali ke pondok pesantren kembali. Bagi yang belum mendapatkan hadiah, tetap semangat menulis, ya! Terus belajar dan berlatih. Semoga di lain hari, bisa mendapatkan hadiah yang lebih baik dan lebih besar daripada yang ada sekarang. Sekian dari saya sebagai juri lomba ini satu-satunya, wassalam.

avatar for Rizky Kurnia RahmanRizky Kurnia Rahman

Ketua Departemen Media dan Komunikasi (Medikom) Dewan Pengurus Daerah (DPD) Wahdah Islamiyah Bombana

1 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright © 2025 wahdahbombana.or.id