Menjadi kebiasaan saya dan semoga tetap berlanjut, saya membeli buku baru tiap bulan. Entah itu buku fiksi maupun nonfiksi, pokoknya harus ada yang dibeli.
Dalam berburu buku, tentunya ada begitu banyak pilihan. Dan, tentu saja, sebagai pecinta buku sejak dahulu, saya tidak mau membeli buku bajakan. Pernah, sih, membeli buku bajakan, sekadar ingin tahu saja. Rupanya kualitasnya sangat-sangatlah buruk!
Buat apa beli buku bajakan, saya ‘kan bukan petani. Jadi, tidak pernah pula membajak sawah. Tidak ada hubungannya, sih.
Dan, saya tidak mau menjadi pencuri dengan membeli buku bajakan lagi. Mencuri yang pernah saya lakukan adalah cuma mencuri hati. Istri saya buktinya.
Sebuah Kutipan

Buku baru untuk bulan ini adalah Bait-bait Khairunnisa karya Ustaz Dr. Firanda Andirja, Lc. MA. Ada penawaran melalui salurannya, buku tersebut bisa dibeli di Tokopedia maupun Shopee. Saya membeli dengan harga yang lumayan. Sekitar 123 ribu sudah dengan ongkir.
Buku tersebut punya kertas HVS putih, otomatis lebih berat. Tebalnya lebih dari 300 halaman. Ada promo ongkos kirim dari platform belanja dominan merah itu.
Sebenarnya, kalau mau lebih hemat ongkir pakai saja pintu ajaibnya Doraemon. Namun, itu ‘kan cuma ada di dunia khayalan. Mari hindari mengkhayal di siang bolong. Itu yang bolong sebenarnya apa, ya?
Lalu, apa yang menarik dari buku ustaz yang sangat terkenal itu? Ada satu bagian halaman yang menjadi bahan promosi. Dalam halaman tersebut, ada seorang suami yang menyesal mengatasnamakan semua hartanya dengan nama istri.
Banyak yang begitu bukan? Menyerahkan semuanya kepada istri, termasuk gaji maupun uang lain. Nah, dalam buku itu, si suami punya 12 rumah, wah, ada berapa pintunya itu, ya? Semua atas nama istrinya.
Tidak hanya rumah, tabungan miliaran juga ditaruh di rekening sang istri. Eh, pas ada momen istrinya marah alias ngambek alias marah lagi, si istri membawa kabur semua harta.
Mulai dari sertifikat, uang, pokoknya semua-muanya! Dan, si suami datang kepada Ustaz Firanda sambil menangis. Apa tanggapan ustaz?
Ustaz Firanda mengatakan bahwa laki-laki itu memang keliru. Seharusnya, bukan begitu sejak awal. Apakah suami tersebut terlalu sayang atau memang kelewatan sayangnya, hingga semua harta diberikan atas nama istri?
Ya, kalau istrinya shalihah, bagaimana jika tidak? Akhirnya dibawa kabur ‘kan? Akhirnya lenyap juga ‘kan?
Nah, dari kejadian di buku hardcover tersebut, maka muncul ungkapan atau akronim dari SUAMI itu adalah Semua Uang Adalah Milik Istri.
Cuma Dapat Sedikit

Teman kerja saya juga begitu kondisinya. Suaminya menyerahkan semua gaji kepada dia. Lalu, suaminya memegang uang Rp500.000,00 saja. Mungkin untuk beli bensin atau keperluan kecil lainnya.
Persepsi yang ada sekarang memang bisa dikatakan begitu. Istri yang memegang semua uang. Istri yang mengatur semua uang. Mungkin suami dikatakan baik dan teladan jika sudah seperti itu. Dan, suami yang tidak seperti itu, dikatakan tidak baik. Begitukah?
Saya teringat dengan ceramah Ustaz Badrussalam. Menurut beliau, jangan menyerahkan semua uang kepada istri. Soalnya, kalau nanti menikah lagi, ‘kan jadi terasa berkurang. Yah, ada benarnya juga sih, meskipun dengan candaan.
Pemberi Nafkah

Pada dasarnya, seorang suami adalah pemberi nafkah untuk istrinya. Ada begitu banyak dalil yang menjelaskan hal tersebut, baik dari Al-Qur’an maupun hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Misalnya dalam Surah An-Nisa ayat 34:
الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِم
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”
Memang, memberikan nafkah kepada istri adalah sedekah yang paling baik atau sedekah yang paling utama. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berikut:
“Dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu, pahala yang paling besar adalah dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu.” (HR Muslim, Ahmad dan Baihaqi)
Dari pemahaman itu, ada sebagian orang yang memberikan semua uangnya kepada istri. Katanya, itu sebagai tanda cinta yang sangat besar kepada sang istri.
Ada pula video parodi seorang guru yang sudah bekerja, tetapi mengaku tidak pernah mengambil gajinya. Ternyata, yang mengambil gajinya langsung adalah istrinya sendiri!
Kembali ke tanda cinta tadi. Kalau suami memberikan semua uang dan hartanya kepada istrinya, mungkin juga didorong oleh persepsi di masyarakat maupun di media sosial. Biarkan istri yang mengatur keuangan, suami tinggal terima beres saja.
Bisa juga dalam pengertian lain, bahwa selama ini yang belanja di pasar adalah istrinya. Jadi, sekalian saja memberikan semua uang untuk belanja. Toh, belanja itu juga untuk kebutuhan suami dan anak-anak ‘kan?
Padahal, ada teman saya mengungkapkan pendapat yang berbeda. Justru dia yang belanja di pasar, bukan istrinya. Tahu sendiri pasar seperti apa toh? Bercampur laki-laki dan perempuan. Sangat berdekatan.
Mungkin saja istrinya akan tersenggol atau malah sedikit dilecehkan oleh laki-laki lain di pasar tersebut. Jadi, lebih aman dan nyaman, suami yang belanja.
Persepsi Lain

Memang, kondisi setiap rumah tangga itu berbeda-beda. Dan, itu sudah menjadi rahasia dapur mereka. Jadi, suami menyerahkan semua uangnya ke istri atau tidak, itu terserah kepada kesepakatan masing-masing.
Jika suami menganggap bahwa itu tanda cinta dan kepercayaan yang sangat besar kepada istri, maka silakan saja. Namun, jika suami berpandangan bahwa istrinya tidak terlalu pandai mengatur uang, maka ini juga bisa dikompromikan.
Bila ada suami yang tidak mau menyerahkan semua uangnya dengan alasan, nanti malah suami yang akhirnya meminta uang kepada istri, ini juga ada yang berpendapat begitu.
Atau, bisa saja suami berpandangan bahwa selama ini istrinya tidak pandai menggunakan uang. Dianggapnya boros atau membeli barang-barang yang tidak berguna.
Ibarat peribahasa, air tenang menghanyutkan. Istrinya terlihat tenang di dalam kamar, tetapi selalunya datang teriakan dari luar, “Paket!”
Biasanya datang ketika suami sedang bekerja di luar rumah, eh, lha kok, si tukang paket alias kurir datang bersamaan dengan suami. Ketahuan, deh, selama ini banyak berbelanja tanpa suaminya tahu.
Yang jelas sampai di sini, kewajiban memberikan nafkah tetap di pundak suami. Kalau suami sudah memberikan nafkah, maka selanjutnya adalah naf yang lain, yaitu: nafsu. Antara nafkah dan nafsu ini memang kadang menjadi tolok ukur.
Nafkah kurang, malah urusan menghilangkan dahaga terkait nafsu ini juga turun. Begitu pula sebaliknya. Jadi, suami memang harus pandai-pandai dalam menghadapi istri. Ya apa ya?
Bagaimana pendapat kamu sendiri tentang masalah ini? Ditunggu komentarmu di kolom bawah, ya!
Sumber:
https://almanhaj.or.id/51179-nafkah-untuk-sang-isteri.html